MUMPUNG gairah mobil murah masih hangat, mari intip yang terjadi di
Thailand. Negara ini punya program serupa, yaitu memberikan fasilitas
keringanan pajak pada industri otomotif.
Kebijakan ini diambil pemerintah Thailand setelah bencana banjir pada 2011 yang membuat industri otomotif mengkerut. Dari sini, keluarlah kebijakan: pembeli mobil pertama diperkenankan memiliki mobil murah itu.
Serta-merta warga Negeri Gajah Putih memesannya. Menurut catatan IHS Global Automotive, perusahaan riset ekonomi global asal Amerika Serikat, ada sekitar 1,2 juta konsumen yang membeli dengan cara kredit.
Dalam hitungan Bank Dunia, seperti dikutip kantor berita Reuters, potensi pendapatan pajak negara yang hilang mencapai $2,5 miliar. Tersedot oleh mobil murah karena mendapat pembebasan pajak.
Ternyata, kebijakan tersebut memicu munculnya masalah baru. Sekitar 10 persen konsumen mobil murah sudah tak mampu membayar cicilan bulanan.
Selanjutnya mudah ditebak. Penyaluran kredit konsumsi, khususnya untuk belanja mobil murah, mulai ketat. Hal ini memicu penurunan tingkat permintaan terhadap kendaraan roda empat. Harga ikut terseret, tak terkecuali pasar mobil bekas.
Pabrikan otomotif asal Jepang yang menguasai 80 persen pasar domestik Thailand, mengalami penurunan penjualan 30 persen pada kuartal kedua tahun ini. Penurunan harga berlanjut hingga mencapai 20 persen.
Hal serupa juga pernah terjadi di Amerika Serikat pada 2009. Kebijakan insentif pajak terhadap industri otomotif yang diberikan pemerintah telah menyebabkan terjadinya distorsi alias ketidaksempurnaan pasar. Tingkat permintaan tampak menjadi semu, bukan sebagaimana mestinya.
Dalam kondisi seperti ini, jika tidak memukul perusahaan yang tidak ikut program mobil murah, paling minim menekan produk lain. Misalnya pasar mobil bekas.
Mulanya memang kebijakan fasilitas pajak pada industri otomotif langsung menciptakan tingkat permintaan yang sangat tinggi. Tapi kemudian, balon itu pecah menyisakan kredit macet. Di Amerika, seperti yang saat ini terjadi, pemerintahnya bergegas mencabut kebijakan keringanan pajak.
Kebijakan ini tentu tidak sekadar menciptakan pasar yang semu, tapi juga mengakibatkan pendapatan negara ikut tergerus. Dalam konteks kebijakan itu memang tidak ada uang negara yang keluar, tapi ada potensi pemasukan yang hilang, yaitu dari pajak otomotif. Jadi, pada dasarnya ya, sama saja.
Padahal, pajak merupakan pendapatan negara paling penting sebagai penyeimbang pengeluaran. Dengan asumsi pengeluaran tetap, sementara pendapatan dari pajak turun, defisit anggaran bakal makin lebar. Untuk mengecilkan defisit, cari utang jadi solusi. Atau, belanja negara seperti pembangunan infrastruktur bisa diciutkan.
Kembali ke mobil murah yang sedang bergairah di sini, seperti di Thailand dan Amerika beberapa tahun silam. Di Indonesia, produknya disebut Low Cost Green Car (LCGC) dan mendapat fasilitas pajak barang mewah.
Saking semangatnya, bahkan Wakil Presiden Boediono pun sampai angkat bicara, khusus melakukan pembelaan atas kebijakan mobil murah yang banyak diperdebatkan. Dia berjanji, segala daya upaya pemerintah bakal dikerahkan untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif.
Jadi persis dengan yang dilakukan oleh Thailand. Mengerahkan segala upaya, terutama fasilitas pajak.
Pesan yang terkandung dalam kebijakan itu, tentu saja menciptakan tingkat permintaan yang sebesar-besarnya terhadap produk otomotif. Dengan begitu, pabrikan bisa meningkatkan produksi dan selanjutnya, mengeruk untung. Tak peduli jalan sesak, polusi makin parah, atau pendapatan negara yang dikorbankan.
Kini, Thailand sudah terkena imbas dari mobil murah. Kebijakan yang mendorong warga belanja mobil, walau sebenarnya lebih bermanfaat subsidi kebutuhan pokok, berbuntut bencana kredit macet.
Mudah-mudahan pemerintah Indonesia lebih arif. Apalagi, kalau melihat data Bank Indonesia, tingkat konsumsi masyarakat yang ditunjukkan lewat indeks keyakinan konsumen sepanjang Januari-Agustus 2013, sudah turun 7,2 persen.
Kini, apa pemerintah mau menggenjotnya lewat dorongan belanja mobil murah, walau dengan segala pengorbanan?
Kebijakan ini diambil pemerintah Thailand setelah bencana banjir pada 2011 yang membuat industri otomotif mengkerut. Dari sini, keluarlah kebijakan: pembeli mobil pertama diperkenankan memiliki mobil murah itu.
Serta-merta warga Negeri Gajah Putih memesannya. Menurut catatan IHS Global Automotive, perusahaan riset ekonomi global asal Amerika Serikat, ada sekitar 1,2 juta konsumen yang membeli dengan cara kredit.
Dalam hitungan Bank Dunia, seperti dikutip kantor berita Reuters, potensi pendapatan pajak negara yang hilang mencapai $2,5 miliar. Tersedot oleh mobil murah karena mendapat pembebasan pajak.
Ternyata, kebijakan tersebut memicu munculnya masalah baru. Sekitar 10 persen konsumen mobil murah sudah tak mampu membayar cicilan bulanan.
Selanjutnya mudah ditebak. Penyaluran kredit konsumsi, khususnya untuk belanja mobil murah, mulai ketat. Hal ini memicu penurunan tingkat permintaan terhadap kendaraan roda empat. Harga ikut terseret, tak terkecuali pasar mobil bekas.
Pabrikan otomotif asal Jepang yang menguasai 80 persen pasar domestik Thailand, mengalami penurunan penjualan 30 persen pada kuartal kedua tahun ini. Penurunan harga berlanjut hingga mencapai 20 persen.
Hal serupa juga pernah terjadi di Amerika Serikat pada 2009. Kebijakan insentif pajak terhadap industri otomotif yang diberikan pemerintah telah menyebabkan terjadinya distorsi alias ketidaksempurnaan pasar. Tingkat permintaan tampak menjadi semu, bukan sebagaimana mestinya.
Dalam kondisi seperti ini, jika tidak memukul perusahaan yang tidak ikut program mobil murah, paling minim menekan produk lain. Misalnya pasar mobil bekas.
Mulanya memang kebijakan fasilitas pajak pada industri otomotif langsung menciptakan tingkat permintaan yang sangat tinggi. Tapi kemudian, balon itu pecah menyisakan kredit macet. Di Amerika, seperti yang saat ini terjadi, pemerintahnya bergegas mencabut kebijakan keringanan pajak.
Kebijakan ini tentu tidak sekadar menciptakan pasar yang semu, tapi juga mengakibatkan pendapatan negara ikut tergerus. Dalam konteks kebijakan itu memang tidak ada uang negara yang keluar, tapi ada potensi pemasukan yang hilang, yaitu dari pajak otomotif. Jadi, pada dasarnya ya, sama saja.
Padahal, pajak merupakan pendapatan negara paling penting sebagai penyeimbang pengeluaran. Dengan asumsi pengeluaran tetap, sementara pendapatan dari pajak turun, defisit anggaran bakal makin lebar. Untuk mengecilkan defisit, cari utang jadi solusi. Atau, belanja negara seperti pembangunan infrastruktur bisa diciutkan.
Kembali ke mobil murah yang sedang bergairah di sini, seperti di Thailand dan Amerika beberapa tahun silam. Di Indonesia, produknya disebut Low Cost Green Car (LCGC) dan mendapat fasilitas pajak barang mewah.
Saking semangatnya, bahkan Wakil Presiden Boediono pun sampai angkat bicara, khusus melakukan pembelaan atas kebijakan mobil murah yang banyak diperdebatkan. Dia berjanji, segala daya upaya pemerintah bakal dikerahkan untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif.
Jadi persis dengan yang dilakukan oleh Thailand. Mengerahkan segala upaya, terutama fasilitas pajak.
Pesan yang terkandung dalam kebijakan itu, tentu saja menciptakan tingkat permintaan yang sebesar-besarnya terhadap produk otomotif. Dengan begitu, pabrikan bisa meningkatkan produksi dan selanjutnya, mengeruk untung. Tak peduli jalan sesak, polusi makin parah, atau pendapatan negara yang dikorbankan.
Kini, Thailand sudah terkena imbas dari mobil murah. Kebijakan yang mendorong warga belanja mobil, walau sebenarnya lebih bermanfaat subsidi kebutuhan pokok, berbuntut bencana kredit macet.
Mudah-mudahan pemerintah Indonesia lebih arif. Apalagi, kalau melihat data Bank Indonesia, tingkat konsumsi masyarakat yang ditunjukkan lewat indeks keyakinan konsumen sepanjang Januari-Agustus 2013, sudah turun 7,2 persen.
Kini, apa pemerintah mau menggenjotnya lewat dorongan belanja mobil murah, walau dengan segala pengorbanan?